Blog's Stat

Search this blog

October 12, 2011

Diary Larasati (bab 1)




DIARY LARASATI

1.




Alun-alun masih ramai. Diatas panggung tampak seorang lelaki setengah baya dengan stelan resmi, jas dan dasi, berdiri didepan mikropon yang ada. Beberapa aparat tampak berjaga didepan panggung. Juga beberapa lelaki kekar dengan kacamata hitam dan seragam khusus yang menandakan anggota pendukung lelaki diatas panggung. Diatas kursi-kursi yang berjejer tampak anggota keluarga dan beberapa orang lain yang merupakan tim sukses lelaki itu. Lelaki dengan wajah simpatik dan tampak berwibawa itu bernama Dipo Kusumo. Dia adalah salah satu calon kuat dalam pemilihan bupati di daerah itu. Ada tiga calon yang mengajukan diri. Calon kedua yang juga sama-sama berpengaruh di masyarakat adalah Suryo Pethuk, seorang tokoh masyarakat yangcukup disegani. Sementara calon terakhir seorang yunior diantara dua orang itu, tokoh pemuda bernama Gatot Suminto.
Dia seorang pemuda yang kritis dan tanggap akan situasi sosial di masyarakat. Tapi walau begitu dia masih kalah pamor dengan dua saingannya. Bagi sebagian orang yang paham dan terus mengamati perkembangan acara pemilihan itu tahu kalo pemuda itu hanyalah sebagai pemecah dukungan terhadap dua calon itu. Mereka juga tahu kalau pemuda itu hanyalah boneka dari seorang Dipo Kusumo. Walau tidak ada bukti yang pasti akan hal itu.
Dan seorang yang begitu sibuk berusaha mencari bukti itu adalah Jundi Mateo, seorang wartawan sekaligus anggota penyidik dari propinsi yang bertugas melancarkan acara pemilihan itu dari kecurangan. Komisi penyidik itu beranggotakan sepuluh orang. Mereka semua berkonsentrasi pada satu nama, Dipo Kusumo, seorang berpengaruh, ambisius dan cukup dikenal menghalalkan segala cara.
Hanya saja sejauh ini lelaki itu masih “bersih”. Walau mereka meragukannya, tapi belum ada bukti yang bisa menjeratnya. Bisa dibilang kali ini permainannya sangat licin dan misterius. Walaupun begitu, adanya kejadian-kejadian yang mendului acara pemilihan itu dapat dijadikan alasan akan kegawatan suasana di daerah itu.
Ada satu kejadian pembunuhan dengan korbannya sekretaris kabupaten yang dulu, walau itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu, ada juga kekerasan dengan senjata tajam antara dua kelompok warga, yang belakangan diketahui merupakan pendukung fanatik dari kedua calon terkuat, beberapa sengketa tanah dan dua perampokan dengan kekerasan yang anehnya menimpa masing-masing dua calon terkuat itu.
Karena itulah anggota komisi penyidik itu sendiri terdiri dari berbagai lembaga penting. Lima orang dari propinsi yang diturunkan selain Jundi Mateo yang wartawan adalah : Darmadi SH dan Prabowo S.SosPol dari anggota dewan tingkat I; Drs Lukman seorang pengamat politik yang kritis; dan Iptu Sasongko, Kanit Serse dari Polwil yang kebetulan sahabat Jundi Mateo. Sementara lima orang wakil daerah tersebut adalah ; Rifa’I SH dan Larasati SE dari Dewan Tingkat II dan humasnya, Sutikno SH, Kanit Serse Polres dan Ipda Aditya, KaPolsek daerah itu, serta Nurkoco dari Koramil.
Sore itu acara orasi di alun-alun berakhir lancar dan terkendali. Hanya keributan kecil dari massa yang sedikit mabuk. Itupun hanya sebagian kecil dan dapat segera diatasi. Malam itu tidak ada rapat penting bagi komisi penyidik jadi semua bisa santai dan kembali ketempat masing-masing. Dua orang anggota dewan dan Pak Lukman sang pengamat politik kembali ke hotel yang disediakan. Jundi dan Sasongko memilih tinggal di salah satu rumah dinas kepolisian kosong milik kepolisian. Selain lebih aman, tempat itu juga memungkinkan keduanya bergerak bebas mencari informasi. Malam itu Sasongko mendapat undangan dari Ka-PolRes, sementara Jundi sejak sore sudah sibuk meminta Sasangko mencari pinjaman motor.

“Busyet…, rapi banget. Emang mau cari berita dimana?” tanya Sasongko saat melihat Jundi yang biasanya tampil cuek malam itu jadi lain.
“Sorry men, malam ini aku off. Tapi, nona humas yang cantik itu akhirnya sadar juga kalo gak baek terus-terusan nolak ajakanku makan malam.” Jundi tersenyum senang.

Sasongko melotot mendengarnya.

“Gila!! Pantes aja sore tadi kamu nempel terus.”
“Kalo sore tadi sih nempelnya juga karena tugas. Tapi kalo malam ini bisa nempel, berarti bakal ada tugas, ha… ha… ha….”

Sasongko ikut tertawa.

“Tapi ati-ati aja, tu cewek kayaknya sama licinnya sama si Dipo Kusumo” kata Sasongko.

Jundi menatapnya.

“Pantes kamu bagian reserse, hidungmu tajam juga.”
“Kalo soal ‘endus-mengendus, aku gak mau kalah sama kamu.”
“Sip. Asal kamu tetep lurus aku gak bakal ‘endus’ kamu. Oke deh, aku cabut dulu. Gak etis kalo wartawan telat janjian.
“Yo… ati-ati” jawab Sasongko.

Reserse muda itu menatap kepergian sahabatnya sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum.

“Aku tau kamu bisa diandalkan Jun…” batinnya.

Tak lama sebuah mobil dinas berhenti didepan rumah itu. Sasongko pun segera masul kedalamnya, untuk menghadiri undangan dari Ka-Polres yang merupakan seniornya di pendidikan dulu.

---o0o---

Jundi duduk diruang tamu rumah itu sambil merokok dan menunggu yang punya rumah keluar. Kata bibi yang membuka pintu tadi, Neng Laras masih didalam. Matanya mengamati sekitar ruangan mencoba membaca bagaimana karakter si empunya rumah. Kalo soal itu, dia memang jago. Pengamatan dan analisanya mengenai karakter seseorang sudah tidak diragukan lagi. Bahkan sering membantu Sasongko, sahabatnya yang reserse, kalo ada kasus.
Tak lama, orang yang ditunggu keluar juga. Gaun malam dengan potongan sederhana dan pas di badan itu membuat Jundi menatap kagum. Wajahnya memang cukup manis, tapi perempuan itu tahu benar bagaimana membuat dirinya tampak menarik.

“Kok malah bengong?” tanya perempuan itu.

Jundi tersenyum, lalu memandang dirinya sendiri sebelum kembali menatap Larasati yang sudah duduk.

“Yah, kostumku sih sudah cukup imbang, masalahnya, tadi kan aku udah bilang kalo jemput kamu naek motor, kalo seperti itu…?”

Larasati tersenyum.

“Emang kenapa kalo aku seperti ini?”
“Gak pa-pa sih, cuman, apa pantes nih?”
“Udah deh, naek motor juga asik kok. Apa gak jadi aja… goda Larasati.
“Eh gak bisa… aku gak mau rugi nih.” Jundi tersenyum dan berdiri.

Larasati ikut berdiri. Mereka keluar dari rumah itu dan berboncengan naek motor.




---o0o---





“Jadi…, kemana nih?” tanya Jundi.

Saat itu motor yang mereka naiki sudak masuk di jalan raya.

“Terserah, kan kamu yang ajak.” Jawab Larasati.
“Waduh, gak bisa gitu dong. Aku Aku belum hapal tempat-tempat romantis daerah ini.”

Larasati tertawa kecil, geli dengan jawaban Jundi.

“Emang kamu pernah makan dimana aja selama ini?” tanya perempuan itu.
“Yah, kebanyakan di warung-warung pinggir jalan. Sekalian nongkrong sambil buka telinga, siapa tahu ada yang keceplosan ngomong.”
“Eh, jadi ada maksud lain nih?” selidik Larasati, walo bercanda.
“Jangan salah sangka dulu. Malam ini aku sudah niat ‘off’, kalopun ada bocoran, tetep ‘off the record’, tenang aja.”

Larasati mencubit pinggang lelaki didepannya itu.

“Wartawan emang gak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Aku harus jaga bicaraku nih, kalo jadi head line bisa berabe.”
“Ha.. ha… ha…, tenang aja nona manis, aku yakin malam ini bukan naluri wartawan yang bersamaku, lebih ke naluri lelaki seorang Jundi Mateo.”

Larasati kembali mencubit pinggangnya.

“Udah deh, gak usah ngerayu lagi. Udah pernah ke ‘Suka Rasa” belum? Aku pengen ikan bakar.”
“Yang dipojok jalan keluar kota itu, ya? Cuman lewat saja sama Sasongko, belum sempat mampir. Jadi kesana nih?”
“Iya.”
“Ok, nona manis. Lima menit lagi kita sampai.” Kata Jundi dan mulai memacu motornya.
---o0o---
Rumah lesehan “Suka Rasa” ternyata memang cukup romantis. Tempat makannya dibagi oleh petak-oetak dengansekat-sekat pembatas setinggi pinggang orang dewasa ditiap petaknya. Semua menghadap ke sebuah kolam yang lumayan luas dengan taman yang ditata apik. Ada juga beberapa binatang seperti monyet dan burung yang dirantai dan tupai-tupai yang lucu dalam sangkar. Juga beberapa reptil disangkar yang lain.
Alunan musik terdengar dari speaker-speaker medium di beberapa petak. Lampu yang sedikit temaram dan warna-warni menghiasi petak-petak itu, menambah kesan romantis nya.Seorang pelayan mendekat begitu mereka duduk disana. Setelah mencatat pesanan, gadis muda itupun berlalu.

“Wuih…, ternyata kamu tau juga tempat yang indah ini…” kata Jundi setelah mengamati keadan sekitar.
“Jangan mulai ya… aku gak percaya sama wartawan.” Larasati langsung menimpali.
Jundi tertawa pelan.

“Kan sudah aku bilang tadi, malam ini yang ada adalah Jundi, lelaki yang sedang mengajak seorang wanita cantik untuk makan malam, bukan Jundi si wartawan kota yang mengincar wanita lewat makan malam.”

Larasati tertawa.

“Tetep aja aku gak mau percaya penuh, jangan lupa aku juga humas yang udah biasa sama wartawan. Walopun malam ini aku adalah Larasati, perempuan yang diajak makan malam temen lelakinya.”

Ganti Jundi yang tertawa, ngakak.
Larasati tersenyum melihatnya.

“Udah deh, malam ini kita nikmati aja. Bagaimana kalo temanya tentang kita.” Jundi memberi usul.
“Oke. Dan karena kau yang mengusulkan maka aku akan mendengarkan tentang siapa kamu.” Larasati tersenyum.

Jundi menatap tak percaya, perempuan ini memang licin seperti yang dikira Sasongko.
Dan dia memang sangat… sangat menarik.

bersambung . . . 

I'm back . . . !!!!